Deadlock
Prolog
Aku
melihat dua anak kecil. Yang satu laki-laki, dan satu lagi perempuan. Mereka
berlari-lari sambil tertawa di atas rumput yang terbentang luas di halaman,
walau hujan mengguyur mereka, tak dapat menghapus wajah bahagia mereka. Aku
mengenal perempuan kecil itu. Dia adikku tersayang. Dan laki-laki kecil itu
adalah aku.
Mataku
terbuka. Kudengar suara air menabrak genting rumah. Ya ampun, untuk kesekian
kalinya aku bermimpi bermain bersama adikku. Aku pun segera bangun dan membuka
jendela kamar. Tak ada matahari yang menyapaku, yang ada hanya hujan dan udara
dingin.
“Dia
lagi apa ya?” spontan keluar satu pertanyaan dari mulutku. Yang aku maksud
dengan ‘Dia’ tak lain dan tak bukan adalah adikku tersayang. Sudah 3 tahun aku
tak melihatnya. Nasib bagus yang sudah membuatnya menjadi wanita cantik yang
pintar. Sekarang dia sudah menjadi seorang Dokter Muda.
Tak
sengaja kulihat foto kami saat kecil dulu, saat aku sedang menggendong adikku
yang menangis karena terjatuh. Foto itu tepat berada di atas meja yang berada
di sebelah kasurku. Aku ingat, saat itu umurku masih 5 tahun, sedangkan adikku
2 tahun dibawahku. Kami bermain, berlari, tertawa, berteriak, sangat indah.
Tapi adikku terjatuh. Dia menangis dengan keras sambil berteriak memanggilku.
“Bang Han... Bang Han..” Aku pun segera mendatanginya dan bertanya “Kenapa?”
Dia un menjawab, “Sakit”. Kulihat lututnya merah. Aku pun mengelus tangannya
berharap dia segera berhenti menangis. “Gak apa-apa, cuma merah aja kok.”
bujukku. “Nanti Mama marah.”
Suara
petir menyadarkan lamunanku. Aku pun mengambil foto itu dan tersenyum. “Adik
kecilku yang cengeng dan penakut sekarang udah jadi wanita yang berani.” Tanpa
sadar, air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku merindukan adikku tersayang.
Secepat
mungkin kuambil ponselku, dan menelfon adikku. Tapi mail box. Aku pun mengirim sebuah pesan padanya. “Adikku tersayang,
aku merindukanmu..” begitulah kata-kata yang kukirim padanya.
***
Ulangtahun
Adikku
Tak
lama kemudian, aku pun keluar dari kamarku. Kulihat ke pintu kamar adikku yang
berada tepat disebelah pintuku. Aku pun masuk ke kamar itu. Dengan cat dinding
berwarna hijau kesukaannya. Ada banyak foto yang berdiri di atas meja di sudut
kamar. Ada banyak foto kami, dan foto adikku bersama teman-temannya. Aneh, di
atas meja itu ada sebuah buku kecil. Aku pun membuka buku itu. Isi buku itu
mengagetkanku. Karena di dalamnya terdapat foto seorang lelaki sedang tidur di
atas sofa. Dan lelaki itu adalah aku. Aku tertawa. Dan yang lebih mengejutkan
lagi, isi buku itu adalah semua keluhan dan pujian adikku tentang aku.
bang
han cerewet!!
bang
han baik...
abang
rehan = bang han
sayang
bang han
...
Pa,
jangan marahi bang han
Putus
gara-gara bang han
bang
han kuliah di luar kota
bang
han, kapang pulang?
bang
han, kangen...
gak
ada yang bantuin buat PR
...
bang
han, papa sama mama marah-marah
bang
han, kuliah itu gak enak ya..
maunya
satu kampus sama bang han
...
bang
han udah pulang
bang
han,, cari kerjaan dong
...
harus
tinggali papa, mama, dan bang han
gak
boleh nangis di depan bang han
aku
selalu sayang bang han
selamat
tinggal bang rehan
“Adik
yang manja”
Aku
pun melanjutkan melihat foto-foto di atas meja itu. Ada satu foto yang
membuatku tersenyum. Yaitu foto aku dan
adikku sedang makan bakso pinggiran dengan mengenakan baju seragam SMA. Saat
itu kami kabur dari sekolah karena adikku lupa membuat PR. Aku melihat foto pesta
ulangtahun adikku yang ke-17. Saat itu, aku sedang melanjutkan kuliah di luar
kota. Aku pun mengingat berapa umur adikku sekarang. Hampir 25 tahun. Ya ampun,
aku melupakan sesuatu. Empat hari lagi adalah hari ulangtahun adikku yang
ke-25. Entah mengapa, aku sangat ingin bertemu dengannya. Saat itu juga, aku
memutuskan untuk menyusulnya. Aku segera keluar dari kamar adikku, dan masuk
kembali ke kamarku. Lampu ponselku menyala, teranyata, adikku menelfonku.
“Hallo?”
sapaku.
“Bang
Han, apa kabar?” bahagianya aku mendengar suaranya.
“Baik”
jawabku. “Kamu kapan pulang?” tanyaku dengan cepat.
“Hmmm,
gak tau. Kalo gak ada halangan insyaALLAH lebaran tahun depan.” Jawabnya.
Aku
hanya berkata, “Ya udah jangan dipaksa kalo gak bisa.”
“Bang,
udah dulu ya? Nanti aku telfon lagi.”
Dia
langsung menutup telfonnya. Gak apa-apa, yang penting aku tau dia baik-baik
aja. Semua itu cukup untukku.
***
Kejutan Untuk Adikku
Tersayang
Pagi
yang cerah. Aku sudah bersiap bersama ranselku untuk segera pergi menuju Kota
adikku tinggal sekarang.
“Kenapa
gak pesan tiket pesawat saja? Kan lebih cepat.” keluh mama.
Dengan
tersenyum aku menjawab, “Gak apa-apa, Ma. Pakai kereta lebih murah, lagian
ulang tahunnya masih tiga hari lagi.”
“Adik
kamu itu udah dewasa, bukan lagi anak kecil yang manja seperti dulu. Lebih baik
tunggu saja sampai dia yang kemari.” tambah papa.
“Aku
udah sangat merindukan dia, pa. Aku pergi karena aku ingin memberikan kejutan
untuk adikku tersayang di hari ulang tahunnya yang ke-25.” jelasku.
Akhirnya
mereka diam. Dan perjalananku pun dimulai.
***
Perjalanan Dimulai
Aku
menaiki bus kota menuju perbatasan. Aku melihat seorang gadis kecil duduk manis
sendirian sambil menangis tersedu-sedu. Tanpa pikir panjang, aku mendatangi
gadis kecil itu, dan duduk di sebelahnya. Entah mengapa, tangisannya hilang.
Dia menghapus air matanya, dan membisu. Tampak ketakutan menghiasi wajahnya.
Aku pun tersenyum.
“Kok
nangis?” tanyaku. Gadis kecil ini hanya menghiraukan pertanyaanku.
“Tadi,
kamu masuk ke kereta ini sama siapa?” tanyaku lagi. Dia masih terdiam, tidak
mau berbicara sedikitpun.
“Abang
juga sedang mencari gadis kecil seperti kamu. Dia adikku, adikku tersayang. Aku
sangat ingin bertemu dengannya. Aku berharap ada orang baik yang mengantar
adikku, kepadaku.” Aku bercerita panjang lebar. “Gadis kecil seperti kamu,
pasti juga sedang dicari oleh orang yang sangat menyayangi kamu.”
Gadis
kecil ini kembali menangis. Aku mengelus rambutnya yang lembut. Dia mulai
mengeluh, “Mau pulang”.
Gadis
kecil itu mulai bercerita, dia lari dari rumah karena ibunya memukulnya. Gadis
yang malang.
“Sekarang,
kamu mau apa?” tanyaku.
“Mau
pulang...” jawabnya. Aku pun berjanji, akan mengantarkan dia sampai rumahnya.
Kami
pun turun di stasiun terdekat. Lalu menaiki kereta yang berlawanan arah.
***
Gadis
kecil ini benar-benar pintar. Dia ingat jalan mana yang harus kami lalui untuk
pulang. Tak kusangka, dia anak dari keluarga yang berada. Aku menggandeng
tangannya mendekati rumahnya. Aku senang karena aku bisa mengantarkan gadis
kecil ini pulang dengan selamat.
Tapi,
nasib sedang tak bersahabat denganku. Dua orang satpam yang berdiri di pagar
segera mengejarku. Yang satu segera merebut gadis kecil itu, sedangkan yang
satunya, segera memukul wajahku hingga aku terjatuh. Terdengar suara gadis
kecil itu memanggilku lalu menangis. Satpam itu langsung membawa gadis kecil
itu masuk, sedangkan satpam yang satunya, masih tak puas memukul wajahku.
Dia
menarik bajuku dan kembali memukul wajahku. Merasa tak puas, dia memukul
perutku dengan kakinya. Apa yang ada di pikirannya? Aku hanya berniat baik
mengantarkan gadis kecil itu pulang. Tapi, malah ini yang aku dapatkan.
“Pergi
kamu! Sebelum polisi yang membawa kamu ke penjara!” bentaknya. Dengan rasa
sakit, aku menjauhi rumah itu.
***
Matahari
sudah menyambutku, aku duduk bersender pada tiang stasiun, berharap menyambut
kereta pertama hari ini. Tetapi, perutku tak bersahabat. Ususku seperti habis
dimakan cacing-cacing. Belum lagi, luka memar di wajahku yang masih terasa
perihnya. Tapi, kuputuskan untuk tetap menunggu kereta. Kuambil buku adikku di
dalam ranselku, lalu kutulis kejadian semalam di dalam buku itu.
Dua
jam berlalu, akhirnya kereta menghampiriku. Sebelum keramaian mendatangi
kereta, aku segera masuk ke dalam dan mencari tenpat duduk yang kupikir cocok.
Sudut
kereta kurasa tempat yang paling cocok. Di sini sangat sunyi. Karena di gerbong
ini hanya ada aku sendiri.
Temanmu adalah Aku
Tak
lama kemudian, kereta mulai berjalan. Aku juga mulai menulis di buku kecil itu.
Setelah kejadian semalam, kupikir perjalananku baru akan
dimulai.
Adikku tersayang, tunggu abang..
Sebentar lagi abang akan menghampirimu..
Bang Han
Aku
menggenggam kalungku, itu membuat aku teringat masa kecilku. Kira-kira umurku
10 tahun. Saat itu, adikku sedang menjalani hukumannya. Dia sudah membuat
temannya menangis karena adikku memukulnya. Sekarang, adikku tidak boleh masuk
ke dalam rumah. Dia menangis di luar rumah dengan kerasnya. Aku menjadi tidak
tega melihatnya menangis. Tetapi, mama melarangku untuk membukakan pintu. Lama
aku berpikir.
Tanpa
memikirkan akibatnya, aku pun diam-diam keluar dari pintu belakang. Aku
menghampiri adikku. Dia langsung memelukku dan kembali menangis.
“Abang...
Abang...” panggilnya.
Iba
melihatnya menangis, aku membawanya ke taman di ujung jalan. Keadaan di sana
sangat sunyi. Kami duduk di kursi panjang. Adikku menyenderkan kepalanya ke
bahuku.
“Langit
malam ini sungguh cerah. Tapi, kenapa wajah adikku tak secerah langit malam
ini?” sindirku.
Mendengar
kata-kataku, dia mulai menghentikan tangisnya. Matanya tertuju pada
bintang-bintang di langit. Cukup lama kami saling berdiam diri. Kulihat adikku
sudah tertidur di pelukanku. Sungguh malang nasib adikku. Tak lama kemudian,
mama dan papa datang menyusul kami. Mama menangis karena khawatir pada kami
yang pergi tanpa izin.
***
Seseorang
berjalan dari belakang dan menabrak bahuku. Membuatku tersadar dari lamunanku.
“Hati-hati,
Mas!” teriakku. Lelaki itu bertubuh besar, berkulit coklat, penampilannya
seperti seorang jalanan. Mendengar suaraku, lelaki itu berhenti dan melihatku
dengan sinis.
Aku
pun menjadi takut. Tetapi entah mengapa, lelaki itu segera pergi
meninggalkanku. Mungkin karena tubuhku yang kurus membuatnya kasihan padaku.
***
Semuanya Hilang
Malam
telah datang. Aku sudah berada di kereta yang berbeda. Baru setegah perjalanan.
Rasanya sungguh melelahkan. Memang seharusnya aku naik pesawat saja. Tapi,
entah mengapa tujuanku seakan berlari menjauhiku.
Saat
itu, perasaanku memang tidak baik. Ku pikir, mungkin aku hanya tidak enak
badan. Aku pun tertidur di dalam kereta. Tapi, mereka mengejutkanku. Mereka
yang aku maksud adalah lelaki berbadan besar itu. dia bersama teman-temannya.
Mereka menyeretku hingga ke gerbong akhir. Diangat tidak ada orang. Mataku
sayu, aku tak dapat menghitung ada berapa orang pada saat itu.
Mereka
mulai memukulku. Seakan aku ini binatang yang mereka permainkan. Wajahku,
perutku, dengan santai mereka memulku, dan menyiksaku. Apakah karena teriakanku
tadi siang?
Aku
terbaring lemas, kurasakan perihnya di sekujur tubuhku. Mereka mengambil
ranselku. Lalu, aku menarik kaki dari salah satu mereka.
“Masih
mau melawan?!” bentaknya. Tapi dia kembali menyepak tanganku. Dia menjambak
rambutku yang pendek. Hingga aku berlutut di hadapanku. Tapi dia kembali
memukul wajahku yang sudah memar. Tubuhku kembali terhempas. Dia mendekatiku
dan tertawa.
“Buku!
Jangan ambil buku adikku!” pintaku.
“Kamu
mau buku?” tanyanya.
Dia
pun melempar buku itu kedepan mataku. Aku pun mengambilnya, tetapi kakinya
menginjak tanganku. Dia menginjak dengan kerasnya. Seakan telapan tanganku
seperti batu yang keras.
Aku
sudah lelah untuk berteriak. Lelah untuk memelas, tapi malah ini yang kudapat.
Sungguh menyakitkan.
Setelah
mereka puas menyiksaku, mereka meninggalkanku dengan membawa barang-barangku.
Hanya buku adikku yang tersisa.
***
Mengapa
Aku
terbangun. Ku lihat di luar sudah sangat terang, kereta pun juga sudah
berhenti. Tak ada yang menemukanku disana. Aku pun segera keluar. Mataku terasa
berat untuk menyambut sang mentari. Cahayanya terasa begitu menusuk di wajahku.
Aku lapar, tapi semuanya telah hilang.
Aku
terus berjalan hingga aku menemukan sebuah rumah makan kecil. Aku pun
mendatangi tempat itu.
Ku
lihat seorang wanita tua.
“Bu,”
sapaku.
Ketika
melihatku, dia kaget dan segera mengambil pisau.
“Pergi
kamu!” teriaknya.
Aku
pun segera pergi. Apa yang membuatnya seperti itu. apakah dia tidak tau kalau
aku sangatlah lapar.
Kemudian,
aku duduk di bawah pohon. Pohon rimbun yang menyejukkan di bawah terik matahari
siang ini. aku pun mulai menulis sebuah puisi untuk adikku. Puisi sebuah
curahan hatiku. Hingga aku menangis karena tak bisa lagi membendung air mata
kesedihan.
***
Malam
tiba, aku lebih memilih untuk menaiki bus. Tapi, malang nasibku. Penjaga bus
itu mengusirku dari busnya karena aku tidak punya uang untuk membayar. Tak
mungkin ku korbankan buku adikku ini. Dengan hati yang hancur, aku pun keluar
dari bus itu.
Malam
ini sangat gelap. Tak ada bulan yang menyinari jalanku, dan tak ada bintang
yang menyapaku.
***
Deadlock
Aku
berjalan dengan menggenggam buku adikku. Apa aku benar-benar tidak bisa bertemu
adikku? Andaikan aku bisa pulang, aku akan minta maaf pada mama karena aku
tidak mengikuti perkataannya.
Langit
masih gelap. Tak ada bulan, tak ada bintang. Aku benar-benar tidak tahu harus
melangkah kemana. Lalu, kuputuskan untuk terus berjalan walau tiada cahaya
sedikitpun. Di pikiranku hanya ada adikku. Senyumnya, tawanya, tangisnya,
keluhnya, rengutannya. Semua tentang adikku. Aku pun menangis.
“Andai
waktu dapat diulang kembali, aku gak akan biarkan adikku menjadi seorang
Dokter.”
Aku
pun meneruskan lamunanku. Di khayalku, hanya ada adikku. Saat dia menangis
tidak bisa menyelesaikan PR-nya, saat dia tertawa melihat aku dimarahi mama,
semua tentang adikku. Sekarang yang aku inginkan hanya adikku tersayang.
Sambil
menangis aku menggenggam sebuah kalung di leherku. Ya ampun, cahaya apa itu?
Cahaya datang dari sisi kanan. Begitu menyilaukan. Cahaya itu makin dekat,
makin dekat, hingga menabrakku.
Entah
apa itu. Tapi, tubuhku terasa melayang lalu terhempas. Mataku terbuka. Cahaya
itu masih ada, menyinari seluruh tubuhku. Tubuhku mati rasa, begitu dingin,
terasa sangat dingin, hingga akhirnya mataku terpejam.
***
Jangan Menangis Adikku
Tersayang
Saat
mataku terbuka, aku sudah berada di sebuah kamar. Aku berdiri di sudut kamar,
heran seketika.
“Dimana
aku?”
Kulihat
jam digital di meja itu menujukkan pukul 02:37 am. Entah mengapa aku seakan tak
ingin keluar dari kamar ini. Oh tidak, dimana buku adikku? Dimana?
Seorang
wanita masuk, seorang wanita yang sangat cantik. Aku mengenal wanita itu, dia
adikku. Aku tak percaya bisa bertemu dengannya. Aku pun berlari menghampirinya,
dan langsung memeluknya. Ya Tuhan, ada apa ini? Aku tidak bisa memeluknya. Dia
seakan bayangan yang tak bisa aku sentuh. Bahkan sedikit pun dia tidak
melihatku. Dia hanya berjalan menuju kasur, dan langsung tidur.
Kuulangi
lagi untuk memeluknya, tapi tetap tidak bisa.
“Apa
yang sebenarnya terjadi? Apa aku hanya bermimpi?”
Aku
ingin menangis. Adikku tersayang ada di depan mataku, tetapi aku tak bisa memeluknya.
***
Pagi
yang cerah menyambut adikku. Dia tidur nyenyak sekali malam tadi. Dia berjalan
ke arahku. Aku pun merentangkan kedua tanganku. Tapi, dia malah menembus
badanku. Seakan aku tak ada. Semua ini benar-benar membuatku takut.
“Ya
Tuhan, apa yang terjadi?”
***
Saat
ini adikku sedang makan, dan aku berada di depannya. Tak ada satu kata pun
terucap dari mulutnya. Lalu, seorang wanita tiba-tiba mendatanginya.
Dia
bertanya pada adikku “Dokter, apa anda mengenal ini?”
Wanita
itu menunjukkan sebuah buku yang dikotori dengan darah yang sudah kering.
Membuat adikku tak nafsu lagi untuk melanjutkan makannya. Aku hanya melihat
mereka. Adikku mulai bicara.
“Buku
itu, Bang han?”
Adikku
menyebut namaku. Apakah buku itu ada hubungannya dengan diriku? Adikku segera
membuka buku itu.
“Ya
ampun, itu kan buku yang aku cari. tapi, kenapa kotor seperti itu?” tanyaku.
Mereka
hanya menghiraukan pertanyaanku.
“Dimana
kamu dapatkan buku ini? Kenapa jadi kotor seperti ini?” tanya adikku.
Wanita
itu hanya diam. Adikku pun terus memaksanya untuk bicara.
Akhirnya
wanita itu mulai berbicara, “Saya dapatkan buku ini dari seorang lelaki yang
mirip dengan foto di dalam buku itu. Dan wanita di foto itu mirip dengan anda,
Dok. Untuk itu saya membawa buku itu ke sini.”
Adikku
kembali bertanya, “Lalu, dimana bang Han?”
Hatiku
tersentak. Mengapa adikku mencariku? Padahal aku ada di dekatnya.
“Anda
harus tenang, Dok. Lelaki di foto ini sudah tewas.”
Aku
membisu seribu kata. Berharap semua ini hanya mimpi. Apa benar aku sudah mati? Apa
itu sebabnya aku tidak bisa memeluk adikku? Apa itu sebabnya adikku tidak bisa
melihatku.
“Bohong!”
tuduh adikku. Matanya terpelotot, menandakan dia tidak percaya.
“Saya
tidak berbohong, Dok. Dia korban tabrak lari di perbatasan jalan menuju kota
ini. Saya dan yang lain menemukan dia tergeletak di tengah jalan dalam keadaan
tak bernyawa. Dia hanya memegang buku ini.” jelas wanita itu.
Adikku
menangis dengan keras sambil memanggilku. Aku pun ikut menangis. Karena aku tak
bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terjatuh. Ingin aku menopangnya, tapi aku hanya
roh. Aku hanya bisa berdiri sampingnya. Hanya bisa menyaksikan kesedihannya.
Dia
terus memanggilku, “Bang Han... Bang Han...”
“Aku
disini sayang, aku di samping kamu.” jawabku.
Dia
mulai tidak sadarkan diri. Aku tetap tidak bisa melakukan apa-apa.
***
Dia
terbaring lemah di tempat tidur, aku hanya bisa merebahkan tubuhku di
sampingnya dan mengelus rambutnya sambil menunggu dia sadar. Ya Tuhan, aku
menangis.
“Bangun
sayang, kamu gak mau lihat langit di luar sana sangat indah. Ada bulan yang
bersinar terang, dan bintang-bintang yang gak mau ketinggalan ikut menyinari
bumi kita.”
“Bang
Han.. Bang Han..”
Lagi-lagi
adikku mengigau memanggilku, membuatku semakin tidak bisa menahan tangisku.
***
Tak
lama kemudian, dia sadar. Dia segera ke ruang makan dan mengambil buku yang ku
bawa. Buku yang berlumur darahku. Dia berjalan menuju ruang tengah, dan duduk
di sofa. Dia membaca tulisan di buku itu. Tulisan yang kubuat sejak
perjalananku. Aku hanya duduk disampingnya, sambil menyaksikan tangisannya.
Hanya itu yang dapat aku lakukan. Lembaran demi lembaran ia baca, semakin banyak
air mata yang di keluarkan dari matanya. Oh adikku, andai kau tau, hatiku
begitu hancur melihatmu menangis. Ingin aku menghapus air matamu, tapi aku tak
bisa, ingin aku memelukmu, tapi aku tak bisa, ingin aku tunjukkan bahwa aku ada
di sampingmu, tapi aku benar-benar tidak bisa. Maafkan aku, adikku tersayang.
Dia
sampai pada halaman terakhir buku itu. Sebuah curahan hatiku yang kutulis
untuknya.
Dikala matahari terbit
Yang ku ingat senyum manismu
Dikala aku bermimpi
Yang ku dengar suara tawamu
Aku
ingin bersamamu
Menjalani
hari
Seperti
masa lalu
Aku ingin memelukmu
Agar kau tak lagi
Menangis dan bersedih
Oh
adikku kapankah engkau
Kembali
kepadaku
Aku
merindukan suara tangismu
Mengadu kepadaku
Dikala sang bulan hadir
Yang kuingat wajah lugumu
Dikala aku terbangun
Yang kuingin kau ada disini
Aku
ingin menarikmu
Agar
kau tau aku
Tak
ingin kehilanganmu
Aku ingin menciummu
Agar kau tau betapa
Sayangnnya aku padamu
Oh
adikku kapankah engkau
Memanggil
lagi namaku
Walau
hanya bisa aku
Mendengar
dalam mimpi
Dia
semakin menangis, dan aku semakin merasa bersalah, karena aku tak dapat berbuat
apa-apa.
***
Wanita
itu datang lagi, kini dia membawa adikku pergi. Kemana? Dia pergi menemuiku,
atau lebih tepatnya menemui jenazah ku. Tubuhku terbaring diatas kasur tipis
yang tinggi, di tutup habis dengan kain putih tanpa terlihat sedikitpun.
Adikku
berjalan perlahan mendekatiku. Aku tak sanggup mendengar tangisnya.
“Abang...
Abang... Abang...” panggilnya.
Aku
hanya terdiam, membisu seribu kata. Hanya bisa melihatnya.
Dia
membuka kain itu. Ya ALLAH, itu memang aku. Aku memang benar-benar sudah mati.
Adikku
makin mengeraskan suara tangisnya. Dia memelukku, memelukku dengan eratnya. Aku
hanya bisa ikut menangis, melihat dia begitu sedihnya aku tinggalkan.
Dia
merebahkan kepalanya ke dadaku. Kalung itu. Apakah dia merasakah kalung di
leherku?
Dia
pun menghentikan tangisnya dan melihat kalung itu. Sebuah kalung berbentuk
oval. Dia membuka kalung itu, betapa sedihnya dia melihat di dalam kalung itu
terdapat foto perempuan kecil, yaitu adikku tersayang. Aku pun ikut menangis.
Dia
kembali memelukku dengan erat, sangat erat sambil berteriak
sekencang-kencangnya, “Bang Han.. Kembali.. Kembali.. Kembali..”
“Gak
bisa, sayang. Gak bisa.”
“
Kembali, abang.. Kembali.. Jangan pergi..”
Aku
hanya bisa menangis sambil menjambak rambutku.
“Jangan
pergi..” pinta adikku.
“Maafkan
aku, adikku tersayang.”
THE END
Komentar
Posting Komentar