Deadlock


Prolog
Aku melihat dua anak kecil. Yang satu laki-laki, dan satu lagi perempuan. Mereka berlari-lari sambil tertawa di atas rumput yang terbentang luas di halaman, walau hujan mengguyur mereka, tak dapat menghapus wajah bahagia mereka. Aku mengenal perempuan kecil itu. Dia adikku tersayang. Dan laki-laki kecil itu adalah aku.
Mataku terbuka. Kudengar suara air menabrak genting rumah. Ya ampun, untuk kesekian kalinya aku bermimpi bermain bersama adikku. Aku pun segera bangun dan membuka jendela kamar. Tak ada matahari yang menyapaku, yang ada hanya hujan dan udara dingin.
“Dia lagi apa ya?” spontan keluar satu pertanyaan dari mulutku. Yang aku maksud dengan ‘Dia’ tak lain dan tak bukan adalah adikku tersayang. Sudah 3 tahun aku tak melihatnya. Nasib bagus yang sudah membuatnya menjadi wanita cantik yang pintar. Sekarang dia sudah menjadi seorang Dokter Muda.
Tak sengaja kulihat foto kami saat kecil dulu, saat aku sedang menggendong adikku yang menangis karena terjatuh. Foto itu tepat berada di atas meja yang berada di sebelah kasurku. Aku ingat, saat itu umurku masih 5 tahun, sedangkan adikku 2 tahun dibawahku. Kami bermain, berlari, tertawa, berteriak, sangat indah. Tapi adikku terjatuh. Dia menangis dengan keras sambil berteriak memanggilku. “Bang Han... Bang Han..” Aku pun segera mendatanginya dan bertanya “Kenapa?” Dia un menjawab, “Sakit”. Kulihat lututnya merah. Aku pun mengelus tangannya berharap dia segera berhenti menangis. “Gak apa-apa, cuma merah aja kok.” bujukku. “Nanti Mama marah.”
Suara petir menyadarkan lamunanku. Aku pun mengambil foto itu dan tersenyum. “Adik kecilku yang cengeng dan penakut sekarang udah jadi wanita yang berani.” Tanpa sadar, air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku merindukan adikku tersayang.
Secepat mungkin kuambil ponselku, dan menelfon adikku. Tapi mail box. Aku pun mengirim sebuah pesan padanya. “Adikku tersayang, aku merindukanmu..” begitulah kata-kata yang kukirim padanya.
***
Ulangtahun Adikku 
Tak lama kemudian, aku pun keluar dari kamarku. Kulihat ke pintu kamar adikku yang berada tepat disebelah pintuku. Aku pun masuk ke kamar itu. Dengan cat dinding berwarna hijau kesukaannya. Ada banyak foto yang berdiri di atas meja di sudut kamar. Ada banyak foto kami, dan foto adikku bersama teman-temannya. Aneh, di atas meja itu ada sebuah buku kecil. Aku pun membuka buku itu. Isi buku itu mengagetkanku. Karena di dalamnya terdapat foto seorang lelaki sedang tidur di atas sofa. Dan lelaki itu adalah aku. Aku tertawa. Dan yang lebih mengejutkan lagi, isi buku itu adalah semua keluhan dan pujian adikku tentang aku.
bang han cerewet!!
bang han baik...
abang rehan = bang han
sayang bang han
...
Pa, jangan marahi bang han
Putus gara-gara bang han
bang han kuliah di luar kota
bang han, kapang pulang?
bang han, kangen...
gak ada yang bantuin buat PR
...
bang han, papa sama mama marah-marah
bang han, kuliah itu gak enak ya..
maunya satu kampus sama bang han
...
bang han udah pulang
bang han,, cari kerjaan dong
...
harus tinggali papa, mama, dan bang han
gak boleh nangis di depan bang han
aku selalu sayang bang han
selamat tinggal bang rehan
“Adik yang manja”
Aku pun melanjutkan melihat foto-foto di atas meja itu. Ada satu foto yang membuatku tersenyum.  Yaitu foto aku dan adikku sedang makan bakso pinggiran dengan mengenakan baju seragam SMA. Saat itu kami kabur dari sekolah karena adikku lupa membuat PR. Aku melihat foto pesta ulangtahun adikku yang ke-17. Saat itu, aku sedang melanjutkan kuliah di luar kota. Aku pun mengingat berapa umur adikku sekarang. Hampir 25 tahun. Ya ampun, aku melupakan sesuatu. Empat hari lagi adalah hari ulangtahun adikku yang ke-25. Entah mengapa, aku sangat ingin bertemu dengannya. Saat itu juga, aku memutuskan untuk menyusulnya. Aku segera keluar dari kamar adikku, dan masuk kembali ke kamarku. Lampu ponselku menyala, teranyata, adikku menelfonku.
“Hallo?” sapaku.
“Bang Han, apa kabar?” bahagianya aku mendengar suaranya.
“Baik” jawabku. “Kamu kapan pulang?” tanyaku dengan cepat.
“Hmmm, gak tau. Kalo gak ada halangan insyaALLAH lebaran tahun depan.” Jawabnya.
Aku hanya berkata, “Ya udah jangan dipaksa kalo gak bisa.”
“Bang, udah dulu ya? Nanti aku telfon lagi.”
Dia langsung menutup telfonnya. Gak apa-apa, yang penting aku tau dia baik-baik aja. Semua itu cukup untukku.
***
Kejutan Untuk Adikku Tersayang
Pagi yang cerah. Aku sudah bersiap bersama ranselku untuk segera pergi menuju Kota adikku tinggal sekarang.
“Kenapa gak pesan tiket pesawat saja? Kan lebih cepat.” keluh mama.
Dengan tersenyum aku menjawab, “Gak apa-apa, Ma. Pakai kereta lebih murah, lagian ulang tahunnya masih tiga hari lagi.”
“Adik kamu itu udah dewasa, bukan lagi anak kecil yang manja seperti dulu. Lebih baik tunggu saja sampai dia yang kemari.” tambah papa.
“Aku udah sangat merindukan dia, pa. Aku pergi karena aku ingin memberikan kejutan untuk adikku tersayang di hari ulang tahunnya yang ke-25.” jelasku.
Akhirnya mereka diam. Dan perjalananku pun dimulai.
***
Perjalanan Dimulai
Aku menaiki bus kota menuju perbatasan. Aku melihat seorang gadis kecil duduk manis sendirian sambil menangis tersedu-sedu. Tanpa pikir panjang, aku mendatangi gadis kecil itu, dan duduk di sebelahnya. Entah mengapa, tangisannya hilang. Dia menghapus air matanya, dan membisu. Tampak ketakutan menghiasi wajahnya. Aku pun tersenyum.
“Kok nangis?” tanyaku. Gadis kecil ini hanya menghiraukan pertanyaanku.
“Tadi, kamu masuk ke kereta ini sama siapa?” tanyaku lagi. Dia masih terdiam, tidak mau berbicara sedikitpun.
“Abang juga sedang mencari gadis kecil seperti kamu. Dia adikku, adikku tersayang. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku berharap ada orang baik yang mengantar adikku, kepadaku.” Aku bercerita panjang lebar. “Gadis kecil seperti kamu, pasti juga sedang dicari oleh orang yang sangat menyayangi kamu.”
Gadis kecil ini kembali menangis. Aku mengelus rambutnya yang lembut. Dia mulai mengeluh, “Mau pulang”.
Gadis kecil itu mulai bercerita, dia lari dari rumah karena ibunya memukulnya. Gadis yang malang.
“Sekarang, kamu mau apa?” tanyaku.
“Mau pulang...” jawabnya. Aku pun berjanji, akan mengantarkan dia sampai rumahnya.
Kami pun turun di stasiun terdekat. Lalu menaiki kereta yang berlawanan arah.
***
Gadis kecil ini benar-benar pintar. Dia ingat jalan mana yang harus kami lalui untuk pulang. Tak kusangka, dia anak dari keluarga yang berada. Aku menggandeng tangannya mendekati rumahnya. Aku senang karena aku bisa mengantarkan gadis kecil ini pulang dengan selamat.
Tapi, nasib sedang tak bersahabat denganku. Dua orang satpam yang berdiri di pagar segera mengejarku. Yang satu segera merebut gadis kecil itu, sedangkan yang satunya, segera memukul wajahku hingga aku terjatuh. Terdengar suara gadis kecil itu memanggilku lalu menangis. Satpam itu langsung membawa gadis kecil itu masuk, sedangkan satpam yang satunya, masih tak puas memukul wajahku.
Dia menarik bajuku dan kembali memukul wajahku. Merasa tak puas, dia memukul perutku dengan kakinya. Apa yang ada di pikirannya? Aku hanya berniat baik mengantarkan gadis kecil itu pulang. Tapi, malah ini yang aku dapatkan.
“Pergi kamu! Sebelum polisi yang membawa kamu ke penjara!” bentaknya. Dengan rasa sakit, aku menjauhi rumah itu.
***
Matahari sudah menyambutku, aku duduk bersender pada tiang stasiun, berharap menyambut kereta pertama hari ini. Tetapi, perutku tak bersahabat. Ususku seperti habis dimakan cacing-cacing. Belum lagi, luka memar di wajahku yang masih terasa perihnya. Tapi, kuputuskan untuk tetap menunggu kereta. Kuambil buku adikku di dalam ranselku, lalu kutulis kejadian semalam di dalam buku itu.
Dua jam berlalu, akhirnya kereta menghampiriku. Sebelum keramaian mendatangi kereta, aku segera masuk ke dalam dan mencari tenpat duduk yang kupikir cocok.
Sudut kereta kurasa tempat yang paling cocok. Di sini sangat sunyi. Karena di gerbong ini hanya ada aku sendiri.
 
Temanmu adalah Aku
Tak lama kemudian, kereta mulai berjalan. Aku juga mulai menulis di buku kecil itu.
Setelah kejadian semalam, kupikir perjalananku baru akan dimulai.
Adikku tersayang, tunggu abang..
Sebentar lagi abang akan menghampirimu..
Bang Han
Aku menggenggam kalungku, itu membuat aku teringat masa kecilku. Kira-kira umurku 10 tahun. Saat itu, adikku sedang menjalani hukumannya. Dia sudah membuat temannya menangis karena adikku memukulnya. Sekarang, adikku tidak boleh masuk ke dalam rumah. Dia menangis di luar rumah dengan kerasnya. Aku menjadi tidak tega melihatnya menangis. Tetapi, mama melarangku untuk membukakan pintu. Lama aku berpikir.
Tanpa memikirkan akibatnya, aku pun diam-diam keluar dari pintu belakang. Aku menghampiri adikku. Dia langsung memelukku dan kembali menangis.
“Abang... Abang...” panggilnya.
Iba melihatnya menangis, aku membawanya ke taman di ujung jalan. Keadaan di sana sangat sunyi. Kami duduk di kursi panjang. Adikku menyenderkan kepalanya ke bahuku.
“Langit malam ini sungguh cerah. Tapi, kenapa wajah adikku tak secerah langit malam ini?” sindirku.
Mendengar kata-kataku, dia mulai menghentikan tangisnya. Matanya tertuju pada bintang-bintang di langit. Cukup lama kami saling berdiam diri. Kulihat adikku sudah tertidur di pelukanku. Sungguh malang nasib adikku. Tak lama kemudian, mama dan papa datang menyusul kami. Mama menangis karena khawatir pada kami yang pergi tanpa izin.
***
Seseorang berjalan dari belakang dan menabrak bahuku. Membuatku tersadar dari lamunanku.
“Hati-hati, Mas!” teriakku. Lelaki itu bertubuh besar, berkulit coklat, penampilannya seperti seorang jalanan. Mendengar suaraku, lelaki itu berhenti dan melihatku dengan sinis.
Aku pun menjadi takut. Tetapi entah mengapa, lelaki itu segera pergi meninggalkanku. Mungkin karena tubuhku yang kurus membuatnya kasihan padaku.
***
Semuanya Hilang
Malam telah datang. Aku sudah berada di kereta yang berbeda. Baru setegah perjalanan. Rasanya sungguh melelahkan. Memang seharusnya aku naik pesawat saja. Tapi, entah mengapa tujuanku seakan berlari menjauhiku.
Saat itu, perasaanku memang tidak baik. Ku pikir, mungkin aku hanya tidak enak badan. Aku pun tertidur di dalam kereta. Tapi, mereka mengejutkanku. Mereka yang aku maksud adalah lelaki berbadan besar itu. dia bersama teman-temannya. Mereka menyeretku hingga ke gerbong akhir. Diangat tidak ada orang. Mataku sayu, aku tak dapat menghitung ada berapa orang pada saat itu.
Mereka mulai memukulku. Seakan aku ini binatang yang mereka permainkan. Wajahku, perutku, dengan santai mereka memulku, dan menyiksaku. Apakah karena teriakanku tadi siang?
Aku terbaring lemas, kurasakan perihnya di sekujur tubuhku. Mereka mengambil ranselku. Lalu, aku menarik kaki dari salah satu mereka.
“Masih mau melawan?!” bentaknya. Tapi dia kembali menyepak tanganku. Dia menjambak rambutku yang pendek. Hingga aku berlutut di hadapanku. Tapi dia kembali memukul wajahku yang sudah memar. Tubuhku kembali terhempas. Dia mendekatiku dan tertawa.
“Buku! Jangan ambil buku adikku!” pintaku.
“Kamu mau buku?” tanyanya.
Dia pun melempar buku itu kedepan mataku. Aku pun mengambilnya, tetapi kakinya menginjak tanganku. Dia menginjak dengan kerasnya. Seakan telapan tanganku seperti batu yang keras.
Aku sudah lelah untuk berteriak. Lelah untuk memelas, tapi malah ini yang kudapat. Sungguh menyakitkan.
Setelah mereka puas menyiksaku, mereka meninggalkanku dengan membawa barang-barangku. Hanya buku adikku yang tersisa.
***
Mengapa
Aku terbangun. Ku lihat di luar sudah sangat terang, kereta pun juga sudah berhenti. Tak ada yang menemukanku disana. Aku pun segera keluar. Mataku terasa berat untuk menyambut sang mentari. Cahayanya terasa begitu menusuk di wajahku. Aku lapar, tapi semuanya telah hilang.
Aku terus berjalan hingga aku menemukan sebuah rumah makan kecil. Aku pun mendatangi tempat itu.
Ku lihat seorang wanita tua.
“Bu,” sapaku.
Ketika melihatku, dia kaget dan segera mengambil pisau.
“Pergi kamu!” teriaknya.
Aku pun segera pergi. Apa yang membuatnya seperti itu. apakah dia tidak tau kalau aku sangatlah lapar.
Kemudian, aku duduk di bawah pohon. Pohon rimbun yang menyejukkan di bawah terik matahari siang ini. aku pun mulai menulis sebuah puisi untuk adikku. Puisi sebuah curahan hatiku. Hingga aku menangis karena tak bisa lagi membendung air mata kesedihan.
***
Malam tiba, aku lebih memilih untuk menaiki bus. Tapi, malang nasibku. Penjaga bus itu mengusirku dari busnya karena aku tidak punya uang untuk membayar. Tak mungkin ku korbankan buku adikku ini. Dengan hati yang hancur, aku pun keluar dari bus itu.
Malam ini sangat gelap. Tak ada bulan yang menyinari jalanku, dan tak ada bintang yang menyapaku.
***
Deadlock
Aku berjalan dengan menggenggam buku adikku. Apa aku benar-benar tidak bisa bertemu adikku? Andaikan aku bisa pulang, aku akan minta maaf pada mama karena aku tidak mengikuti perkataannya.
Langit masih gelap. Tak ada bulan, tak ada bintang. Aku benar-benar tidak tahu harus melangkah kemana. Lalu, kuputuskan untuk terus berjalan walau tiada cahaya sedikitpun. Di pikiranku hanya ada adikku. Senyumnya, tawanya, tangisnya, keluhnya, rengutannya. Semua tentang adikku. Aku pun menangis.
“Andai waktu dapat diulang kembali, aku gak akan biarkan adikku menjadi seorang Dokter.”
Aku pun meneruskan lamunanku. Di khayalku, hanya ada adikku. Saat dia menangis tidak bisa menyelesaikan PR-nya, saat dia tertawa melihat aku dimarahi mama, semua tentang adikku. Sekarang yang aku inginkan hanya adikku tersayang.
Sambil menangis aku menggenggam sebuah kalung di leherku. Ya ampun, cahaya apa itu? Cahaya datang dari sisi kanan. Begitu menyilaukan. Cahaya itu makin dekat, makin dekat, hingga menabrakku.
Entah apa itu. Tapi, tubuhku terasa melayang lalu terhempas. Mataku terbuka. Cahaya itu masih ada, menyinari seluruh tubuhku. Tubuhku mati rasa, begitu dingin, terasa sangat dingin, hingga akhirnya mataku terpejam.
***
Jangan Menangis Adikku Tersayang
Saat mataku terbuka, aku sudah berada di sebuah kamar. Aku berdiri di sudut kamar, heran seketika.
“Dimana aku?”
Kulihat jam digital di meja itu menujukkan pukul 02:37 am. Entah mengapa aku seakan tak ingin keluar dari kamar ini. Oh tidak, dimana buku adikku? Dimana?
Seorang wanita masuk, seorang wanita yang sangat cantik. Aku mengenal wanita itu, dia adikku. Aku tak percaya bisa bertemu dengannya. Aku pun berlari menghampirinya, dan langsung memeluknya. Ya Tuhan, ada apa ini? Aku tidak bisa memeluknya. Dia seakan bayangan yang tak bisa aku sentuh. Bahkan sedikit pun dia tidak melihatku. Dia hanya berjalan menuju kasur, dan langsung tidur.
Kuulangi lagi untuk memeluknya, tapi tetap tidak bisa.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku hanya bermimpi?”
Aku ingin menangis. Adikku tersayang ada di depan mataku, tetapi aku tak bisa memeluknya.
***
Pagi yang cerah menyambut adikku. Dia tidur nyenyak sekali malam tadi. Dia berjalan ke arahku. Aku pun merentangkan kedua tanganku. Tapi, dia malah menembus badanku. Seakan aku tak ada. Semua ini benar-benar membuatku takut.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi?”
***
Saat ini adikku sedang makan, dan aku berada di depannya. Tak ada satu kata pun terucap dari mulutnya. Lalu, seorang wanita tiba-tiba mendatanginya.
Dia bertanya pada adikku “Dokter, apa anda mengenal ini?”
Wanita itu menunjukkan sebuah buku yang dikotori dengan darah yang sudah kering. Membuat adikku tak nafsu lagi untuk melanjutkan makannya. Aku hanya melihat mereka. Adikku mulai bicara.
“Buku itu, Bang han?”
Adikku menyebut namaku. Apakah buku itu ada hubungannya dengan diriku? Adikku segera membuka buku itu.
“Ya ampun, itu kan buku yang aku cari. tapi, kenapa kotor seperti itu?” tanyaku.
Mereka hanya menghiraukan pertanyaanku.
“Dimana kamu dapatkan buku ini? Kenapa jadi kotor seperti ini?” tanya adikku.
Wanita itu hanya diam. Adikku pun terus memaksanya untuk bicara.
Akhirnya wanita itu mulai berbicara, “Saya dapatkan buku ini dari seorang lelaki yang mirip dengan foto di dalam buku itu. Dan wanita di foto itu mirip dengan anda, Dok. Untuk itu saya membawa buku itu ke sini.”
Adikku kembali bertanya, “Lalu, dimana bang Han?”
Hatiku tersentak. Mengapa adikku mencariku? Padahal aku ada di dekatnya.
“Anda harus tenang, Dok. Lelaki di foto ini sudah tewas.”
Aku membisu seribu kata. Berharap semua ini hanya mimpi. Apa benar aku sudah mati? Apa itu sebabnya aku tidak bisa memeluk adikku? Apa itu sebabnya adikku tidak bisa melihatku.
“Bohong!” tuduh adikku. Matanya terpelotot, menandakan dia tidak percaya.
“Saya tidak berbohong, Dok. Dia korban tabrak lari di perbatasan jalan menuju kota ini. Saya dan yang lain menemukan dia tergeletak di tengah jalan dalam keadaan tak bernyawa. Dia hanya memegang buku ini.” jelas wanita itu.
Adikku menangis dengan keras sambil memanggilku. Aku pun ikut menangis. Karena aku tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terjatuh. Ingin aku menopangnya, tapi aku hanya roh. Aku hanya bisa berdiri sampingnya. Hanya bisa menyaksikan kesedihannya.
Dia terus memanggilku, “Bang Han... Bang Han...”
“Aku disini sayang, aku di samping kamu.” jawabku.
Dia mulai tidak sadarkan diri. Aku tetap tidak bisa melakukan apa-apa.
***
Dia terbaring lemah di tempat tidur, aku hanya bisa merebahkan tubuhku di sampingnya dan mengelus rambutnya sambil menunggu dia sadar. Ya Tuhan, aku menangis.
“Bangun sayang, kamu gak mau lihat langit di luar sana sangat indah. Ada bulan yang bersinar terang, dan bintang-bintang yang gak mau ketinggalan ikut menyinari bumi kita.”
“Bang Han.. Bang Han..”
Lagi-lagi adikku mengigau memanggilku, membuatku semakin tidak bisa menahan tangisku.
***
Tak lama kemudian, dia sadar. Dia segera ke ruang makan dan mengambil buku yang ku bawa. Buku yang berlumur darahku. Dia berjalan menuju ruang tengah, dan duduk di sofa. Dia membaca tulisan di buku itu. Tulisan yang kubuat sejak perjalananku. Aku hanya duduk disampingnya, sambil menyaksikan tangisannya. Hanya itu yang dapat aku lakukan. Lembaran demi lembaran ia baca, semakin banyak air mata yang di keluarkan dari matanya. Oh adikku, andai kau tau, hatiku begitu hancur melihatmu menangis. Ingin aku menghapus air matamu, tapi aku tak bisa, ingin aku memelukmu, tapi aku tak bisa, ingin aku tunjukkan bahwa aku ada di sampingmu, tapi aku benar-benar tidak bisa. Maafkan aku, adikku tersayang.
Dia sampai pada halaman terakhir buku itu. Sebuah curahan hatiku yang kutulis untuknya.
Dikala matahari terbit
Yang ku ingat senyum manismu
Dikala aku bermimpi
Yang ku dengar suara tawamu
Aku ingin bersamamu
Menjalani hari
Seperti masa lalu
Aku ingin memelukmu
Agar kau tak lagi
Menangis dan bersedih
Oh adikku kapankah engkau
Kembali kepadaku
Aku merindukan suara tangismu
Mengadu kepadaku
Dikala sang bulan hadir
Yang kuingat wajah lugumu
Dikala aku terbangun
Yang kuingin kau ada disini
Aku ingin menarikmu
Agar kau tau aku
Tak ingin kehilanganmu
Aku ingin menciummu
Agar kau tau betapa
Sayangnnya aku padamu
Oh adikku kapankah engkau
Memanggil lagi namaku
Walau hanya bisa aku
Mendengar dalam mimpi
Dia semakin menangis, dan aku semakin merasa bersalah, karena aku tak dapat berbuat apa-apa.
***
Wanita itu datang lagi, kini dia membawa adikku pergi. Kemana? Dia pergi menemuiku, atau lebih tepatnya menemui jenazah ku. Tubuhku terbaring diatas kasur tipis yang tinggi, di tutup habis dengan kain putih tanpa terlihat sedikitpun.
Adikku berjalan perlahan mendekatiku. Aku tak sanggup mendengar tangisnya.
“Abang... Abang... Abang...” panggilnya.
Aku hanya terdiam, membisu seribu kata. Hanya bisa melihatnya.
Dia membuka kain itu. Ya ALLAH, itu memang aku. Aku memang benar-benar sudah mati.
Adikku makin mengeraskan suara tangisnya. Dia memelukku, memelukku dengan eratnya. Aku hanya bisa ikut menangis, melihat dia begitu sedihnya aku tinggalkan.
Dia merebahkan kepalanya ke dadaku. Kalung itu. Apakah dia merasakah kalung di leherku?
Dia pun menghentikan tangisnya dan melihat kalung itu. Sebuah kalung berbentuk oval. Dia membuka kalung itu, betapa sedihnya dia melihat di dalam kalung itu terdapat foto perempuan kecil, yaitu adikku tersayang. Aku pun ikut menangis.
Dia kembali memelukku dengan erat, sangat erat sambil berteriak sekencang-kencangnya, “Bang Han.. Kembali.. Kembali.. Kembali..”
“Gak bisa, sayang. Gak bisa.”
“ Kembali, abang.. Kembali.. Jangan pergi..”
Aku hanya bisa menangis sambil menjambak rambutku.
“Jangan pergi..” pinta adikku.
“Maafkan aku, adikku tersayang.”

THE END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Landasan Teori Perubahan Wujud Zat

Contoh Proposal Pengadaan Barang

Makalah LK II